Sabtu, 02 Juni 2018

Materi PAI kelas 10 semester genap

BAB I
BERIMAN PADA MALAIKAT

A. Pengertian Iman Kepada Malaikat Allah

Tau gak sih kalau malaikat itu diciptakan dari Nur atau Cahaya. Malaikat itu Ghaib jadi kita tidak mungkin bisa untuk melihatnya, namun mereka selalu taat kepada Allah. Tidak seperti kita yang diciptakan dari tanah dan melakukan banyak kesalahan.
Malaikat mempunyai tugas tertentu yang diperintahkan oleh Allah, mereka selalu melakukan tugasnya tanpa kita sadari, Ya karena mereka tidak dapat dilihat maupun dirasakan, namun kita harus tetap percaya mereka ada.
Jadi, pengertian Iman Kepada Malaikat Allah secara Bahasa ialah percaya, sedangkan secara Istilah iman kepada malaikat adalah
meyakini sepenuh hati bahwa Allah SWT telah menciptakan Malaikat sebagai makhluk ghaib diutus untuk melaksnakan segala perintah-Nya.


Dalil Naqli Iman Kepada Malaikat Allah Surah Al-Anbiya 19-20
QS. Al-Anbiya 19-20

Artinya : “(19) Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih. (20) Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” 


B. Fungsi Beriman Kepada Malaikat Allah

Ada banyak banget fungsi dari beriman kepada malaikat allah, diantaranya :

1. Meningkatkan Ketaatan
Malaikat kan makhluk Allah yang paling taat, dengan beriman manusia dapat mendorong dirinya untuk senantiasa mendekatkan diri dan disiplin kepada Allah SWT.

2. Menjaga Sikap Manusia
Salah satu tugas Malaikat yaitu mengawasi apa yang manusia kerjakan, sehingga manusia akan berhati-hati dalam menjalani kehidupan agar terhindar dari Dosa.

3. Berusaha Meningkatkan Amal Ibadah
Ada Malaikat yang menjaga surga dan neraka. Dengan mengingat hal bisa mendorong manusia untuk meningkatkan amal ibadahnya supaya tidak masuk neraka.

4. Menerima Rezeki yang Sudah Diberikan
Dengan beriman, kita dapat ikhlas dan merasa bersyukur degan apa yang sudah diberikan atau kita berikan kepada orang lain karena amal kita akan dicatat oleh Malaikat.

5. Meningkatkan Kesabaran
Iman kan percaya tuh, nah saat kita sudah melakukan berbagai usaha namun belum kelihatan hasilnya kita harus percaya dengan Allah bahwa kerja keras kita akan terbayar.

C. Hikmah Beriman Kepada Malaikat Allah

  1. Semakin meyakini tentang kebesaran Allah SWT.
  2. Bersyukur kepada Allah SWT, karena telah menciptakan malaikat untuk membantu segala kehidupan dan kepentingan manusia.
  3. Cinta kepada Malaikat karena kedekatan ibadahnya kepada Allah, dan karena mereka selalu membantu dan selalu mendoakan kita.
  4. Bertaqwa dan beriman kepada Allah SWT serta berlomba-lomba dalam kebaikan.
  5. Meningkatkan keimanan untuk mengikuti sifat dan perbuatan Malaikat.
  6. Selalu berfikir dan berhati-hati setiap melakukan suatu perbuatan, karena perbuatan yang baik maupun yang buruk akan selalu dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.
  7. Meningkatkan keimanan manusia kepada Allah, mengingat Malaikat merupakan salah satu ciptaan-Nya
  8. Membentuk jiwa seorang muslim yang benar-benar bertakwa kepada Allah, karena iman kepada Allah dan iman kepada Malaikat merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan
  9. Mendorong manusia untuk senantiasa bertindak hati-hati, karena dia menyadari bahwa setiap perbuatannya selalu diawasi oleh para Malaikat
  10. Mendorong manusia untuk selalu meningkatkan amal baik, karena manusia menyadari bahwa sekecil apapun tindakan baiknya akan dicatat oleh Malaika


BAB II 
SAYANG,PATUH,DAN HORMAT KEPADA ORANG TUA DAN GURU
A.        Sayang, Hormat, dan Patuh kepada Orang Tua
Orang tua memiliki kedudukan tinggi dalam islam. Setiap anak memiliki kewajiban untuk berbuat baik terhadap kedua orang tuanya. Oleh karena itu, kasih sayang, perhatian, dan pengorbanan orang tua harus dibalas dengan kebaikan, kasih sayang, dan pengorbanan yang serupa, meski tidak sebanding. Islam mengenal 2 macam orang tua yang harus dihormati, yakni orang tua yang telah melahirkan kita dan orang tua yang telah mengantarkan kita mengenal Allah SWT.
Berbakti dan berbuat baik kepada orang tua, mengasihi, menyanayangi, menhormati, mendoakan, taat, dan patuh terhadap apa yang mereka perintahkan adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap anak kepada orang tuanya. Perilaku tersebut disebut birrul walidain.
Birrul walidain adalah hak kedua orang tua yang harus dilaksanakan oleh setiap anak, sepanjang keduanya tidak memerintahkan kemaksiatan/kemusyrikan. Bahkan, seorang anak tetap harus berbakti meskipun orang tuanya kafir/musyrik. Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT melalui firman-Nya dalam Surah Luqman/31:15 yang artinya, “Jika keduanya (ibu bapakmu) memaksamu supaya engkau musyrik, menyekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak ketahui, maka janganlah engkau mengikuti keduanya, dan bergaulah dengan keduanya di dunia dengan baik.
Jika seorang anak berbakti dan memperlakukan dengan sebaik-baiknya sebagaimana yang Allah perintahkan, Allah akan memberikan keberkahan hidup kepada ibu bapaknya, Allah tak segan-segan menyulitkan jalan hidupnya. 

·      Keutamaan Bebakti kepada Orang tua
a.        Penghapus dosa besar
b.       Dipanjangkan usia dan dilimpahkan rezeki
c.       Akan mendapatkan bakti yang sama dari anak keturunan
d.       Dimasukkan ke dalam surga

·       Perilaku yang mencerminkan sikap sayang, hormat, dan patuh kepada orang tua diantaranya :
1.       Jika orang tua masih hidup
a.      Mengucapkan salam saat akan meninggalkan/menemuinya
b.      Mendengarkan segala perkataanya dg hormat dan rendah hati
c.      Tidak memotong pembicaraanya
d.      Bepamitan/meminta izin ketika akan pergi dari rumah
e.       Mencium tangan kedua orang tua jika akan pergi/kembali dari berpergian
f.       Membantu pekerjaan rumah,dsb.
2.       Jika orang tua telah meninggal dunia
a.      Melaksanakan wasiatnya
b.    Mendoakan ayah ibu yang telah tiada & memintakan ampun kepada Allah SWT dari   segala dosanya.
c.      Tetap menjalin tali silahturahmu kepada kerabat orang tua
d.      Menepati janji kedua orang tua

B.        Hormat & Patuh kepada Guru

Guru adalah orang yang memberikan pengetahuan sekaligus pendidikan akhlak terhadap murid-muridnya. Ia mengajari cara membaca, menghitung, berpikir, dsb. Guru juga mengajarkan nilai-nilai akhlak kepada muridnya.
Setiap guru pasti akan mengajarkan kebaikan-kebaikan yang mungkin tidak didapatkan seorang anak dari orang tuanya di rumah. Tanpa pendidikan dan bimbinganya, bisa jadi kita tidak akan mengetahui segala yg nyata atau tersembunyi di alam raya ini dan tidak dapat membedakan yang benar atau salah. Jasa guru dalam mendidik dan mencerdaskan muridnya tidaklah dapat diukur dengan materi. Berkat jasa gurulah, kita menjadi terpelajar.
Dalam ajaran islam, guru/ulama adalah orang yang memiliki pengetahuan luas dibandingkan orang lainya. Ia merupakan pewaris para nabi dalam menyampaikan kebaikan kepada orang lain. 

·         Perilaku sikap hormat dan patuh kepada guru
a.       Mengucapkan salam & mencium tanganya ketika bertemu
b.      Mendengarkan pelajaran yg sedang diberikanya
c.       Tidak melawan, menipu, dan membuka rahasia guru
d.      Bersikap sabar terharap perlakuan kasar/akhlak buruk guru
e.      Menunjukkan rasa berterima kasih terhadap ajaran guru
               f.        Sopan ketika berhadapan dengan guru, dsb.

BAB III 


 
Standar Kompetensi
12.  Memahami keteladanan Rasulullah SAW dalam membina umat pereode Madinah
Kompetensi Dasar :
12.1.  Menceriterakan sejarah dakwah Rosulullah SAW pereode Madinah
12.2.  Mendeskripsikan strategi dakwah Rosulullah SAW pereode Madinah
A.   Kondisi Kota Madinah
Kota Madinah berada diwilayah kekuasaan pemerintahan kerajaan Arab Saudi sekarang. Madinah terletak di daerah Hijaz, bagian dari semenanjung Arab yang terletak diantara Dataran Tinggi Nejd dan daerah pantai Tihamah. Didaerah ini terdapat tiga kota utama yaitu Taif, Mekah, dan Madinah. Kota Madinah sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah, namanya adalah kota yasrib. Kondisi Madinah berbeda dengan kota Mekah yang tandus dan gersang. Kota Madinah memiliki oase-oase yang digunakan untuk pertanian, untuk mata pencaharian penduduk bertani, berdagang dan beternak.
Penduduk Yasrib sebelum kedatangan Islam terdiri atas dua suku bangsa, yaitu bangsa Arab dan Yahudi. Di Yasrib tidak ada seorang pemimpin dan suatu pemerintahan atas semua penduduk, yang ada hanyalah pemimpin suku yang hanya memikirkan sukunya sendiri.
B.   Kaum Muslimin Berhijrah
Hijrah secara fisik dalam sejarah islam dilakukan dua kali, yaitu hijrah ke Habsyi dan dari Mekah ke Madinah. Adanya kekejaman kaum musyrik terhadap umat Islam, maka Rosulullah memerintahkan umat islam untuk hijrah ke Yasrib baik secara sendiri-sendiri atau berkelompok kecil. Sedikit demi sedikit kaum muslimin meninggalkan Mekah, sedangkan Rosulullah masih tinggal di Mekah, meskipun orang-orang madinah meminta agar Nabi Muhammad SAW lekas hijrah ke Madinah. Tetapi Rasulullah menunggu perintah Allah SWT untuk berhijrah. Orang Quraisy Mekah setelah mengetahui bahwa kaum muslimin banyak yang sudah hijrah ke Madinah dan yang tinggal di Mekah hanya Nabi Muhammad SAW. Dari itu mereka menyuruh kepada pemuda Quraisy untuk mengepung dan menjaga rumah Nabi Muhammad SAW sejak malam hari, supaya bila Nabi Muhammad SAW keluar rumah untuk shalat subuh disitulah Nabi Muhammad harus dibunuh. Keputusan itu harus segera mereka laksanakan. Tetapi manusia berencana Allah yang menentukan. Sebelum orang Quraisy melaksanakan niat buruknya, Allah telah mengilhamkan pada Nabi Muhammad SAW untuk hijrah ke Madinah bersama Abu Bakar Sidiq, tetapi terlebih dahulu bersembunyi di gua Tsur sebelum Rosulullah SAW meninggalkan Mekah, meminta Ali Bin Abu Thalib supaya memakai selimut dan tidur ditempat tidurnya. Pada malam itu para pemuda pilihan dari berbagai suku mengepung rumah Nabi Muhammad SAW dan menyangka yang tidur adalah Rasulullah SAW. Sementara Rasulullah ditemani oleh Abu Bakar telah meninggalkan rumah menuju ke gua Tsur terlebih dahulu.
C.   Kehadiran Nabi Muhammad di Madinah.
Para penduduk Madinah menyambut kehadiran Rasulullah dengan riang gembira. Penduduk Madinah yang menyambut kehadiran Rasulullah disebut kaum Anshor. Sedangkan kaum muslimin yang hijrah dari Mekah ke Madinah disebut kaum muhajirin. Setelah kehadiran Rasulullah, nama kota Yasrib berubah menjadi Madinatul Munawaroh (kota yang memancarkan cahaya ilmu pengetahuan). Hari hijrah Nabi Muhammad SAW yang terjadi pada tahun 622 M, dipandang oleh umat islam diwaktu itu, sebagai permulaan zaman orde baru yang telah mengalahkan dan melumpuhkan kekuatan orde lama. Karena itu peristiwa ini menjadi awal perhitungan tahun Islam yang dikenal dengan nama Tahun Hijrah, dan yang mulai menetapkan tahun hijrah ini ialah Khalifah Umar Bin Khatab r.a. setelah Nabi Muhammad berdiam di Madinah, tidak lama kemudian beliau membuat masjid, yang diberi nama Masjid Nabawi. Orang-orang Muhajirin dan Anshor hidup seperti orang bersaudara, rukun dan damai, dan merekalah yang menjadi tiang bangunan Islam di masa itu.
D.   Strategi Dakwah Nabi Muhammad SAW di Madinah
Strategi dakwah Rasulullah SAW di Madinah berbeda dengan strategi dakwah di Mekah. Hal-hal pokok yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAW selama berada di Madinah antara lain :
1. Mempersaudarakan kaum muhajirin dan anshor
Kaum anshor menerima kedatangan kaum muhajirin dengan riang gembira. Mereka mengetahui bahwa sebagian besar kaum muhajirin tidak membawa harta bendanya ketika berhijrah. Kerenanya mereka bersedia berbagi tempat tinggal, pekerjaan, pakaian, dan lain-lain. Untuk lebih mempererat persaudaraan kaum tersebut, Rasulullah SAW mempersaudarakan kaum muhajirin dan anshor. Dasar persaudaraan yang dibangun oleh Rasulullah SAW adalah Wahdatul Islamiyah yaitu persaudaraan yang didasarkan kepada Agama Islam.
2. Menciptakan Perdamaian
Pada saat Rasulullah hadir di Madinah, ada dua suku yang sering bertikai yaitu, suku Auz dan Khazraj. Rosulullah SAW berusaha mendamaikan dua suku yang sedang bertikai tersebut sehingga terciptalah perdamaian. Dengan terciptanya kedamaian dan terhapusnya jurang pemisah antar suku yang ada di Madinah, maka ketentraman akan dirasakan. Suasana tersebut menjadi pendukung dakwah Rasulullah SAW di Madinah.
3. Toleransi yang tinggi
Penduduk Madinah agamanya berbeda yaitu ada Yahudi, Islam dan Nasrani. Rasulullah memberi kebebasan kepada penduduk untuk menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Pembentukan masyarakat madani dimulai di Madinah, dasar-dasar pemerinntahan Islam telah diletakkan, ini tertuang dalam Piagam Madinah yang juga disebut Konstitusi Madinah. Sebuah konstitusi modern yang untuk pertama kalinya memperkenalkan wacana kebebasan beragama, persaudaraan antar agama, perdamaian dan kedamaian, persatuan, etika politik, hak dan kewajiban warga negara, serta konstitusi pengakuan hukum berdasarkan kebenaran dan keadilan. Isi piagam Madinah itu antara lain :
a. Seluruh penduduk Madinah merupakan satu kesatuan warga yang bebas berpikir dan melakukan agamanya masing-masing serta tidak boleh mengganggu.
b. Apabila kota Madinah diserang musuh mereka harus mempertahankannya bersama-sama
c.  Apabila salah satu golongan diserang musuh, golongan yang lain harus membantunya.
d. Jika timbul perselisihan, penyelesaianya dibawah keadilan yang dipimpin oleh Rasulullah SAW.

Pendidikan Agama Islam Dan Budi Pekerti


Assalamualaikum temen-temen :)
 Hari ini kita bakalan bahas tentang "Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti".
Tapi, sebelum masuk ke materi,saya akan memperkenalkan diri terlebih dahulu.
Nama saya Bulan Maharani Kusnadie,kelas X IPA 2 dan saya pelajar di SMA Negeri 1 Sanggau.
oke,kita langsung saja masuk ke materi yang pertama. 
                                                             

 Bab 1 
Aku selalu dekat dengan Allah Swt.

A. Al-Asma'u Al-Husna Allah Swt.
   1.Pengertian Al-Asma'u Al-Husna
       Kata Al-Asma'u al-Husna berasal dari dua kata,yaitu asma dan husna.Asma artinya nama-nama dan husna berarti terbaik.  Dalam agamaIslam, Asmaa'ul husna (Arab: أسماء الله الحسنى, asmāʾ allāh al-ḥusnā‎) adalah nama-nama Allah yang indah dan baik. Asma berarti nama dan husna berarti yang baik atau yang indah, jadi asma'ul husna adalah nama nama milik Allah yang baik lagi indah.
     2.Ayat Al-Qur'an tentang Al-Asma'u Al-Husna
       Perhatikan Surah al-Hasyr [59] ayat 24 berikut:

 هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ ۖ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ ۚ يُسَبِّحُ لَهُ مَا 
                                   
                         فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ     
                                                                               
Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. 
B.Tujuh Al-Asma'u Al-Husna Allah Swt.
   a.Al-Karim
   Secara bahasa, Al Karim bermakna “kemuliaan”, “keistimewaan sesuai objeknya” dan “keluhuran budi”. Sementara menurut Ibn faris, Karim adalah kemuliaan sesuatu pada dirinya sendiri atau perilakunya. Sedangkan, Imam AZ Zujaj memaknainya dengan al-jawad (dermawan), al-aziz (perkasa) dan al-shaffuh (pemaaf). Az-Zujaj berkata, “Inilah tiga pengertian Karim menurut ucapan orang arab. Semuanya boleh disifatkan kepada Allah.”
Allah adalah Tuhan yang Maha Mulia. Kemulian-Nya tidak dilebihi oleh siapa pun selain-Nya. Al-Qur’an menyatakan:
“Barangsiapa bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya, dan barangsiapa ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya Lagi Maha Mulia.”
Karena kemulian-Nya, Allah memiliki kebaikan yang tidak terbatas Dia akan memberi, jika diminta, dan tetap memberi meski tidak diminta. Imam Al-Ghazali menjelaskan makna Al-Karim sebagai berikut: “Al-Karim adalah Dzat yang bila berkuasa akan mengampuni, bila berjanji akan menepati, bila memberi akan memberi lebih dari yang diminta. Ia tidak pernah berhitung, berapa dan kepada siapa ia memberi. Dia tidak rela, bila ada kebutuhan yang dimohonkan kepada selain-Nya. Dia ‘kecil hati’, bila menegur tanpa ‘berlebih’. Dia tidak mengabaikan siapapun yang menuju dan berlindung kepada-Nya. Itulah Dzat yang Maha Karim dalam pengertian yang sebenarnya. Dan itu hanya milik Allah semata.
    b.Al-Mu'min
    Al-Mukmin ( الْمُؤْمِنُ ) adalah salah satu dari asmaul husna. Allah ‘azza wa jalla menyebutkan nama ini dalam satu ayat dalam al- Qur’an, yaitu firman-Nya,
“Dia-lah Allah Yang tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (al-Hasyr: 23)
    c.Al-Wakil
     Al-Wakil berasal dari kata Al-wakil yang mengandung arti Maha Mewakili atau Pemelihara. Al-Wakil yaitu Allah SWT yang memelihara dan mengurusi segala kebutuhan makhluk-Nya, baik itu dalam urusan dunia maupun urusan akhirat.
Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Az-Zumar ayat 62:
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
Artinya : “Allah SWT pencipta segala sesuatu dan Dia Maha Pemelihara atas segala sesuatu.”
    d.Al-Matin
    Al-Matin adalah salah satu nama Allah al-Husna. Nama ini disebutkan di salah satu ayat pada surat adz-Dzariyat.

 إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلرَّزَّاقُ ذُو ٱلۡقُوَّةِ ٱلۡمَتِينُ ٥٨

“Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi Rezeki, Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.”(adz-Dzariyat: 58)
Al-Matin dalam bahasa bermakna syiddah wal quwwah (kekuatan yang sangat dahsyat). Disebutkan oleh Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma sebagaimana dalam riwayat ath-Thabari dalam tafsirnya bahwa al-Matin bermakna asy-Syadid, yakni Yang Sangat Kuat.
     e.Al-Jami'
Jami’ asal katanya jama’ah yang berarti kumpulan, lebih dari satu atau banyak. Allah bersifat al-Jami’, artinya Allah Maha Mengumpulkan/Mempersatukan. Selain pada hari kiamat nanti Allah akan mengumpulkan kita. Allah bersifat al-Jami’ juga dapat kita buktikan dalam kehidupan ini. Mari kita amati sistem tata surya, adakah sesuatu yang mampu mengumpulkan matahari, planet, meteor, asteroid, dan benda langit lainnya menjadi satu kesatuan sistem yang harmonis? Kemudian coba kita perhatikan kehidupan di dalam laut. Didalam laut hidup berbagai jenis makhluk yang Allah kumpulkan menjadi sebuah ekosistem laut yang saling berketergantungan, saling berhubungan dan saling membutuhkan? Subhanallah !.

Sumber: http://kisahimuslim.blogspot.co.id/2014/12/asmaul-husna-al-jami-yang-maha.html
        Al-Jami' berarti Maha Menghimpun.Allah Swt. Maha menghimpun segala sesuatu yang berjumlah tidak terbatas sekalipun.Allah Swt.adalah pencipta bumi , langit,beserta isinya,
     f.Al-'adl
        Al-Adl berarti Maha Adil. Keadilan Allah SWT bersifat mutlak, tidak dipengaruhi apapun dan siapapun. Allah Mahaadil karena Allah selalu menempatkan sesuatu pada tempat yang semestinya, sesuai dengan keadilan-Nya yang Maha Sempurna. Dia bersih dari sifat aniaya, baik dalam hukum-Nya maupun dalam perbuatan-Nya. Di antara hukum-Nya mengenai hak hamba-hamba-Nya adalah bahwa tidak ada bagi manusia itu kecuali apa yang ia usahakan, dan hasil dari segala usahanya itu akan dilihatnya. Secara normal, orang-orang yang saleh akan ditempatkan di surga yang penuh dengan kenikmatan, sedangkan orang-orang yang mengabaikan perintah Allah akan dimasukkan ke dalam neraka yang penuh dengan penderitaan.
Jami’ asal katanya jama’ah yang berarti kumpulan, lebih dari satu atau banyak. Allah bersifat al-Jami’, artinya Allah Maha Mengumpulkan/Mempersatukan. Selain pada hari kiamat nanti Allah akan mengumpulkan kita. Allah bersifat al-Jami’ juga dapat kita buktikan dalam kehidupan ini. Mari kita amati sistem tata surya, adakah sesuatu yang mampu mengumpulkan matahari, planet, meteor, asteroid, dan benda langit lainnya menjadi satu kesatuan sistem yang harmonis? Kemudian coba kita perhatikan kehidupan di dalam laut. Didalam laut hidup berbagai jenis makhluk yang Allah kumpulkan menjadi sebuah ekosistem laut yang saling berketergantungan, saling berhubungan dan saling membutuhkan? Subhanallah !.

Sumber: http://kisahimuslim.blogspot.co.id/2014/12/asmaul-husna-al-jami-yang-maha.html
Jami’ asal katanya jama’ah yang berarti kumpulan, lebih dari satu atau banyak. Allah bersifat al-Jami’, artinya Allah Maha Mengumpulkan/Mempersatukan. Selain pada hari kiamat nanti Allah akan mengumpulkan kita. Allah bersifat al-Jami’ juga dapat kita buktikan dalam kehidupan ini. Mari kita amati sistem tata surya, adakah sesuatu yang mampu mengumpulkan matahari, planet, meteor, asteroid, dan benda langit lainnya menjadi satu kesatuan sistem yang harmonis? Kemudian coba kita perhatikan kehidupan di dalam laut. Didalam laut hidup berbagai jenis makhluk yang Allah kumpulkan menjadi sebuah ekosistem laut yang saling berketergantungan, saling berhubungan dan saling membutuhkan? Subhanallah !.

Sumber: http://kisahimuslim.blogspot.co.id/2014/12/asmaul-husna-al-jami-yang-maha.html
Jami’ asal katanya jama’ah yang berarti kumpulan, lebih dari satu atau banyak. Allah bersifat al-Jami’, artinya Allah Maha Mengumpulkan/Mempersatukan. Selain pada hari kiamat nanti Allah akan mengumpulkan kita. Allah bersifat al-Jami’ juga dapat kita buktikan dalam kehidupan ini. Mari kita amati sistem tata surya, adakah sesuatu yang mampu mengumpulkan matahari, planet, meteor, asteroid, dan benda langit lainnya menjadi satu kesatuan sistem yang harmonis? Kemudian coba kita perhatikan kehidupan di dalam laut. Didalam laut hidup berbagai jenis makhluk yang Allah kumpulkan menjadi sebuah ekosistem laut yang saling berketergantungan, saling berhubungan dan saling membutuhkan? Subhanallah !.

Sumber: http://kisahimuslim.blogspot.co.id/2014/12/asmaul-husna-al-jami-yang-maha.html
    g.Al-Akhir
        Al-Akhir berarti Dzat Yang Maha Akhir. Maha Akhir disini dapat diartikan bahwa Allah SWT adalah Dzat yang paling kekal. Tidak ada sesuatu pun setelah-Nya. Tatkala semua makhluk, bumi seisinya hancur lebur, Allah SWT tetap ada dan kekal. Pemahaman tentang Allah SWT sebagai Dzat Yang Maha Akhir ini tidak bisa disamakan dengan pengertian bahwa Allah adalah akhir dari segala-galanya. Inilah yang membedakan antara Allah SWT sebagai Sang Khalik (Sang Pencipta) dengan makhluk (yang diciptakan). Makhluk mempunyai awal yang berupa penciptaannya dan mempunyai akhir pada saat dia sudah hancur atau mati. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S. Ar-Rahman (55): 26-27 sebagai berikut. Artinya: “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Q.S. Ar-Rahman (55): 26-27)


BAB 2
Berbusana Muslim dan Muslimah Cermin Kepribadian dan Keindahan


A. Pengantar
Salah satu perbedaan sistem Islam dengan sistem Kapitalis adalah bahwa sistem Kapitalis memandang persoalan sosial dan rumah tangga dianggap sebagai masalah ekonomi, sedangkan sistem Islam masalah-masalah di atas dibahas tersendiri dalam hukum-hukum seputar interaksi pria-wanita (nizhâm al-ijtima’iyyah). Misalnya dalam sistem kapitalisme tidak ada istilah zina jika laki-laki dan perempuan melakukan hubungan suami isteri tanpa ikatan pernikahan asal dilakukan suka-sama suka atau saling menguntungkan sebaliknya disebut pelecehan seksual dan pelakunya dapat diajukan ke pengadilan jika seorang suami memaksa dilayani oleh seorang isteri sementara isterinya menolak.
Karena itu dalam persoalan pakaian antara penganut sistem kapitalis dan sistem Islam jelas perbeda. Dalam sistem kapitalis pakaian dianggap sebagai salah satu ungkapan kepribadian, sebagai unsur penarik lawan jenis dan karena itu memiliki nilai ekonomis. Bentuk tubuh seseorang –apalagi wanita– sangat berpengaruh terhadap makna kebahagiaan dan masa depan.
Adapun Islam menganggap bahwa pakaian digunakan memiliki karakteristik yang sangat jauh dari tujuan ekonomis apalagi yang mengarah pada pelecehan penciptaan makhluk Allah. Karena itu di dalam Islam:
1. Pakaian dikenakan oleh seorang muslim maupun muslimah sebagai ungkapan ketaatan dan ketundukan kepada Allah, karena itu berpakaian bagi seorang muslim memiliki nilai ibadah. Karena itu dalam berpakaian iapun mengikuti aturan yang ditetapkan Allah.
2. Kepribadian seseorang ditentukan semata-mata oleh aqliyahnya (bagaimana dia menjadikan ide-ide tertentu untuk pandangan hidupnya) dan nafsiyahnya (dengan tolok ukur apa dan seberapa banyak dia berbuat dalam memenuhi kebutuhan hidup dan melampiaskan nalurinya).
3. Setiap manusia memiliki kedudukan yang sama, yang membedakan adalah takwanya.
Melalui cara berpakaian yang Islami, sesungguhnya Allah juga berkehendak memuliakan manusia sebagai makhluk yang memang telah Allah ciptakan sebagai makhluk yang mulia. Sebaliknya dengan tidak mengikuti cara berpakaian sesuai yang dikehendaki Allah, menyebabkan kedudukan manusia jatuh.
Walhasil seorang muslim dan muslimah wajib mengetahui aturan berpakaian agar dalam berpakaian dan berpenampilan ia akan mendapatkan ridha Allah, bukan sebaliknya mendapatkan murka Allah.
B. Pakaian Bagi Seorang Muslim
Pakaian yang dikenakan oleh seorang muslim haruslah memenuhi syarat tertentu, yakni:
1. Menutup aurat;
2. Tidak terbuat dari emas atau sutera;
3. Tidak menyerupai pakaian wanita;
4. Tidak menyerupai orang-orang kafir.
C. Aurat Laki-Laki
Aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut, berdasarkan riwayat ‘Aisyah:
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari Bapaknya dari kakeknya, beliau menuturkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Jika ada di antara kalian yang menikahkan pembantu, baik seorang budak ataupun pegawainya, hendaklah ia tidak melihat bagian tubuh antara pusat dan di atas lututnya.” [HR. Abu Dawud, no. 418 dan 3587].
Rasulullah Saw bersabda:
Aurat laki-laki ialah antara pusat sampai dua lutut. [HR. ad-Daruquthni dan al-Baihaqi, lihat Fiqh Islam, Sulaiman Rasyid].
Dari Muhammad bin Jahsyi, ia berkata: Rasulullah Saw melewati Ma’mar, sedang kedua pahanya dalam keadaan terbuka. Lalu Nabi bersabda:
Wahai Ma’mar, tutuplah kedua pahamu itu, karena sesungguhnya kedua paha itu aurat.” [HR. Ahmaddan Bukhari, lihat Ahkamush Sholat, Ali Raghib].
Jahad al-Aslami (salah seorang ashabus shuffah) berkata: pernah Rasulullah Saw duduk di dekat kami sedang pahaku terbuka, lalu beliau bersabda:
Tidakkah engkau tahu bahwa paha itu aurat?” [HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Malik, lihatShafwât at-Tafâsir, Muhammad Ali ash-Shabuni].
Juga Rasulullah Saw pernah berkata kepada Ali ra: “Janganlah engkau menampakkan pahamu dan janganlah engkau melihat paha orang yang masih hidup atau yang sudah mati.” [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, lihat Shafwât at-Tafâsir,Muhammad Ali ash-Shabuni].
Larangan Memakai Emas Dan Sutera Bagi Laki-Laki
Larangan ini berdasarkan hadits:
Diriwayatkan dari al-Bara’ bin Azib r.a katanya: “Rasulullah Saw memerintahkan kami dengan tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh perkara. Baginda memerintahkan kami menziarahi orang sakit, mengiringi jenazah, mendoakan orang bersin, menunaikan sumpah dengan benar, menolong orang yang dizalimi, memenuhi undangan dan memberi salam. Baginda melarang kami memakai cincin atau bercincin emas, minum dengan bekas minuman dari perak, hamparan sutera, pakaian buatan Qasiy yaitu dari sutera, serta mengenakan pakaian sutera, sutera tebal dan sutera halus.” [HR. Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad, CD Al-Bayan 1212].
Larangan Menyerupai Wanita
Seorang laki-laki dilarang bertingkah laku, termasuk berpakaian menyerupai wanita dan sebaliknya seorang wanita bertingkah laku termasuk berpakaian seperti laki-laki.
Larangan Menyerupai Orang Kafir
Menyerupai orang kafir (tasyabbuh bil kuffar) dilarang bagi muslim maupun muslimah. Tasyabbuh dapat dilakukan melalui pakaian, sikap, gaya hidup maupun pandangan hidup.
Bagi seorang laki-laki pakaian yang harus dikenakan sama, apakah dia di dalam rumah, di luar rumah, di hadapan mahram atau bukan, kecuali di hadapan isteri.
D. Pakaian Bagi Seorang Muslimah
Adapun pakaian yang dikenakan oleh seorang muslimah haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Menutup aurat;
2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (memakai jilbab, khumur, mihnah dan memenuhi kriteria irkha’);
3. Tidak tembus pandang;
4. Tidak menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya;
5. Tidak tabarruj;
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki;
7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir.
Rincian masing-masing persyaratan di atas berbeda-beda berdasarkan:
1. Keberadaan wanita di tempat umum atau di tempat khusus.
2. Keberadaan wanita di hadapan mahram atau bukan atau di hadapan suami atau bukan.
Penampilan wanita dibedakan antara tempat khusus dan tempat umum. Misalnya di dalam rumah sendiri seorang wanita boleh membuka jilbabnya dan hanya memakai mihnahnya, kecuali jika ada tamu laki-laki non muhrim. Adapun di tempat umum penampilan wanita dibatasi dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. Kewajiban menutup aurat, seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan.
b. Kewajiban menggunakan pakaian khusus di kehidupan umum, yaitu kerudung (khimar) danjilbab (pakaian luar yang luas (seperti jubah) yang menutup pakaian harian yang biasa dipakai wanita di dalam rumah (mihnah), yang terulur langsung dari atas sampai ujung kaki.
c. Larangan tabarruj (menonjolkan keindahan bentuk tubuh, kecantikan dan perhiasan di depan laki-laki non muhrim atau dalam kehidupan umum).
d. Larangan tasyabbuh terhadap laki-laki.
Khusus untuk wanita menopause diperbolehkan Allah untuk melepaskan jilbabnya hanya saja tetap diperintahkan untuk tidak tabarruj, sehingga diperbolehkan baginya menggunakan baju panjang selapis/tidak rangkap (bukan jilbab) model apa saja selama tidak menampakkan keindahan tubuhnya seperti baju panjang atas bawah, kulot panjang dan lain-lain, Qs. an-Nûr [24]: 60).
Pakaian wanita di dalam rumahnya cukup menggunakan mihnah (kecuali ada tamu bukan mahrom, maka wajib menutup aurat yang harus ditutup di hadapan bukan mahrom). Di hadapan mahrom maka cukup menggunakan mihnah (kecuali di tempat umum maka harus memenuhi pakaian wanita di tempat umum), di hadapan suami tidak ada keharusan menutup bagian tubuhnya (walaupun dianjurkan tidak telanjang).
E. Aurat Wanita
Pembahasan aurat wanita dibagi menjadi tiga keadaan, yaitu:
1. Di hadapan suami mereka maka wanita boleh menampakkan seluruh bagian tubuhnya (berdasarkan hadits riwayat Bahz bin Hakim).
2. Di hadapan muhrimnya dan orang-orang yang disebut dalam Qs. an-Nûr [24]: 31 dan Qs. an-Nisâ’ [4]: 23 maka baginya boleh menampilkan bagian tertentu dari anggota tubuhnya yang biasa disebut mahaluzzinah yaitu anggota badan yang biasanya dijadikan tempat perhiasan, seperti: kepala seluruhnya, tempat kalung (leher), tempat gelang tangan (pergelangan tangan) sampai pangkal lengan dan tempat gelang kaki (pergelangan kaki) sampai lutut. Mahaluzzinah ini biasa tampak ketika wanita memakai baju dalam rumah (mihnah). Selain itu anggota tubuh lain boleh tampak termasuk apabila ada hajat seperti perut, payudara, kecuali aurat yang ada di antara pusar dan lutut.
Pemahaman mahaluzzinah ini diambil dari firman Allah SWT:
….dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali” (Qs. an-Nûr [24]: 31).
Kata zinah yang secara bahasa berarti perhiasan, tetapi bukanlah perhiasan yang biasa dipakai orang tetapi makna zinah di sini adalah anggota badan yang merupakan tempat perhiasan (mahaluzzinah), karena illa mâ zhahara minhayang dimaksud adalah yang biasa nampak pada saat itu (saat ayat ini turun) yaitu muka dan telapak tangan, jadi menyangkut anggota badan.
1. Adapun di hadapan laki-laki selain suami dan muhrimnya maka aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
Dasar dari penentuan aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, yaitu:
….dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Qs. an-Nûr [24]: 31).
Sedangkan yang dimaksud dengan yang biasa nampak daripadanya adalah wajah dan telapak tangan. Karena dua bagian ini yang biasa nampak dari wanita muslimah di hadapan Rasul Muhammad Saw (baik dalam sholat, haji maupun dalam kehidupan sehari-hari di luar sholat dan haji) dan Rasul mendiamkannya sementara ayat-ayat al-Qu’ran masih turun. Tafsir mengenai hal ini, Ibnu Abbas menyatakan yang dimaksud dengan illa mâ zhahara minhaadalah muka dan tangan, juga dari Imam Ibnu Jarir ath-Thabari menyatakan “Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa sesuatu yang biasa nampak adalah muka dan telapak tangan.” (Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, jld. 18, hal. 94). Hal tersebut diperkuat dengan sabda Rasul Saw kepada Asma’ binti Abu Bakar:
Wahai Asma’: Sesungguhnya wanita yang telah haid tidak layak baginya terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini. Beliau menunjuk pada wajah dan telapak tangannya.” [HR. Abu Dawud, No. 3580].
Qs. an-Nûr [24]: 31 turun sebelum ayat tentang jilbab sehingga ayat ini hanya menyampaikan batasan aurat dan perintah memakai kerudung. Sedangkan kewajiban berjilbab akan dibahas menyusul.
Adapun berkaitan dengan apa aurat itu ditutup, maka sesungguhnya syara’ tidak menentukan pakaian tertentu untuk menutup aurat, tetapi hanya memberikan beberapa syarat yaitu:
1. Pakaian itu tidak menampakkan aurat (dapat menutup semua aurat).
2. Pakaian itu dapat menutup kulit, sehingga tidak diketahui warna kulit dari wanita yang memakainya, yaitu apakah kulitnya putih, merah, kuning, hitam dan lain-lain. Apabila tidak memenuhi syarat tersebut tidak dapat diianggap sebagai penutup aurat. Jika pakaian itu tipis misal brokat, kerudung tipis, kaos kaki tipis, rukuh tipis dan lain-lain, sehingga kelihatan warna kulit (rambut) si pemakai pakaian itu, maka wanita yang memakai pakaian tersebut dianggap auratnya tampak atau tidak menutupi auratnya. Dalil bahwa syariat Islam telah mewajibkan menutup kulit sehingga tidak tampak warna kulitnya adalah hadits yang diriwayatkan dari A’isyah ra, beliau telah meriwayatkan bahwa Asma’ binti Abu Bakar datang kepada Rasulullah Saw dengan memakai baju yang tipis maka Rasulullah memalingkan wajahnya dari Asma’ dan bersabda:
Wahai Asma’: Sesungguhnya wanita yang telah haid tidak layak baginya terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini…” [HR. Abu Dawud, no. 3580].
Rasulullah dalam hadits di atas menganggap baju yang tipis belum menutup aurat dan menganggap auratnya terbuka, sehingga beliau memalingkan wajah dari Asma’ dan memerintahkan Asma’ untuk menutup aurat. Dalil lain yang memperkuat dalam masalah ini adalah hadits yang diriwayatkan Usamah:
Perintahkan isterimu untuk mengenakan pakaian tipis lagi (gholalah) di bawah baju tipis tersebut. Sesungguhnya aku takut wanita itu tersifati tulangnya.
Rasulullah Saw ketika mengetahui Usamah memakaikan pakaian tipis itu pada isterinya, beliau menyuruhnya agar isterinya mengenakan pakaian tipis lagi di bawah pakaian tipisnya itu. Dan Rasulullah memberi illat pada masalah itu dengan sabdanya:
Sesungguhnya aku takut wanita itu tersifati tulangnya.
Artinya wanita harus menutup sifat dari tulangnya, tidak boleh menggunakan pakaian yang tipis, sehingga kelihatan warna kulitnya.
Dengan demikian wanita harus memperhatikan 2 syarat tersebut ketika memilih jenis dan bahan pakaian penutup aurat termasuk penutup aurat di depan mahrom dan wanita lain seperti celana 3/4 sampai lutut, daster dan lain-lain.
Hanya saja apabila wanita selain yang menopause berada di luar rumah atau tempat-tempat umum (masjid, pasar, jalanan dan lain-lain) maka selain batasan aurat dan larangan tabarruj, terdapat ketentuan lain yang perlu diperhatikan yaitu adanya kewajiban menggunakan pakaian khusus yang telah diperintahkan Allah berupa khimar (kerudung) dan jilbab (jubah langsungan dari atas sampai ujung kaki), bukan pakaian lain seperti baju panjang atas bawah, kulot panjang dan lain-lain. Meskipun jenis baju tersebut menutup aurat tetapi bukan termasuk jilbab, oleh karena itu jenis pakaian tersebut hanya bisa dipakai oleh wanita yang sudah menopause dan sudah tidak punya keinginan seksual (Qs. an-Nûr [24]: 60). Untuk wanita menopause ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan dalam berpenampilan yaitu tidak diperbolehkan tabarruj. Oleh karena itu celana panjang, kaos kaki panjang, kaos stret pas badan tidak boleh digunakan sebagai penutup aurat wanita menopause karena termasuk tabarruj (menonjolkan kecantikan dan perhiasan/bentuk tubuh). Untuk lebih detailnya tentang pakaian khusus di kehidupan umum maka dapat dilihat pada pembahasan selanjutnya.
Pakaian Wanita di dalam Kehidupan Umum
Dalam kehidupan umum, yaitu pada saat wanita berada di luar rumahnya/di hadapan laki-laki non mahrom, maka seorang wanita harus menggunakan pakaian secara sempurna, yakni:
1. Menutup aurat;
2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (memakai jilbab, khumur, mihnah dan memenuhi kriteria irkha’);
3. Tidak tembus pandang;
4. Tidak menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya;
5. Tidak tabarruj;
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki;
7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir.
Dalil-dalil mengenai masalah ini lihat lagi pembahasan di atas. Adapaun dalil lainnya adalah sebagai berikut:
Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkankhumur (kain kerudung) ke juyub (dada)-nya, dan janganlah menampakkan perhiasanyaa, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung’.” (Qs. an-Nûr [24]: 31).
Kewajiban menggunakan khumur muncul dari perintah dan hendaklah mereka menutupkan khumur/kain kerudung ke juyub (dada)-nya.
Khumur adalah jama’ dari khimar yaitu kerudung yang menutupi kepala, dan juyub adalah jama’ dari kata jaibun yaitu ujung pakaian (kancing pembuka) yang ada di sekitar leher dan di atas dada. Dengan kata lain khimar adalah kain yang menutupi kepala tanpa menutupi wajah, terulur sampai sampai menutupi ujung pakaian bawah (jilbab) yakni kancing baju di atas dada. Dengan demikian untuk bagian atas badan wanita diwajibkan mengenakan kerudung yang diulurkan sampai ujung pakaian (kancing pembuka)/di atas dada. Sedangkan bawahnya diperintahkan menggunakan jilbab/jubah. Dalil kewajibannya adalah sebagai berikut: (1)ungkapan Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka sebagaimana disebutkan dalamfirman Allah SWT:
Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. al-Ahzab [33]: 59).
(2) Kebolehan menanggalkan pakaian luar (jilbab) bagi wanita menopouse dengan ungkapan tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) merekasebagaimana dalam firman Allah SWT:
Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan (tabarruj), dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. an-Nûr [24]: 60).
(3) Ungkapan salah seorang di antara kami tidak mempunyai jilbab, Rasulullah bersabda: “Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya.” Sebagimana dalam hadits dari Ummu ‘Athiyah ra. Berkata:
Rasulullah memerintahkan kepada kami, nenek-nenek, wanita yang sedang haid, wanita pingitan untuk keluar pada hari raya Fitri dan Adha. Maka bagi wanita yang sedang haid janganlah sholat dan hendaklah menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Saya berkata: “Ya Rasulullah salah seorang di antara kami tidak mempunyai jilbab”, Rasulullah bersabda: “Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya.” (HR. Muslim, no 1475].
Pada Qs. al-Ahzab [33]: 59 dan hadist dari Ummu ‘Athiyah, Allah dan Rasul-Nya memerintahkan muslimah menggunakan sejenis pakaian yang disebut jilbab.
Memahami Pengertian Jilbab
Kata jilbab digunakan di dalam al-Qur’an dan Hadits, namun maksud kata itu harus dikembalikan pada maksud yang dipahami oleh masyarakat ketika kata itu diturunkan/diungkapkan. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata jilbab (pada nash tersebut): baju luar yang berfungsi menutupi tubuh dari atas sampai bawah (tanah). Dalam kamus arabAl-Muhith, jilbab bermakna: Pakaian yang lebar bagi wanita, yang menutupi tsiyab/mihnah (pakaian harian yang biasa dipakai ketika berada di dalam rumah), bentuknya seperti malhafah (kain penutup dari atas kepala sampai ke bawah). Demikian pula yang disebutkan oleh al-Jauharidalam kitab Ash Shihah. Definisi jilbab ini juga tersirat dalam Qs. an-Nûr [24]: 60 walaupun pada ayat tersebut Allah menggunakan istilahtsiyab untuk menyebut makna jilbab.
Dari Qs. an-Nûr [24]: 60 dapat diambil pemahaman bahwa wanita menopause yang sudah tidak mempunyai keinginan seksual diperbolehkan melepaskan tsiyabnya (pakaian luarnya/jilbab), berarti tersisa mihnah, hanya saja selanjutnya diperintahkan untuk tidak menampakkan kecantikan, bentuk tubuh, perhiasan (tidak tabarruj) yaitu diperbolehkan menggunakan baju apa saja sejenis mihnah yang tidak menampakkan kecantikan/bentuk tubuh seperti baju atas bawah panjang, daster, kulot panjang dan lain-lain, tidak seperti celana ketat panjang karena hal itu termasuk tabarruj. Tsiyabdisini dipahami pakaian luar/jilbab bukan baju biasa karena tidak mungkin Allah memerintahkan wanita menopause telanjang. Berarti dapat dipahami pula bagi wanita yang belum menopause diwajibkan untuk menggunakan tiga lapis/jenis pakaian ketika di hadapan laki-laki non mahrom yaitu kerudung, mihnah dan jilbab.
Adapun Hadist dari Ummu ‘Athiyah menerangkan dengan jelas ketika wanita keluar rumah/dihadapan laki-laki non mahrom diwajibkan menggunakan pakaian yang dipakai di atas pakaian dalam rumah (mihnah), sebagaimana Ummu ‘Athiyah berkata kepada Rasulullah Saw: “Salah seorang dari kami tidak mempunyai jilbab”, maka Rasulullah menjawab: “Hendaklah saudara perempuannya meminjamkan jilbabnya.” Artinya jika seseorang tidak mempunyai jilbab dan saudaranya tidak meminjami maka wanita itu tidak boleh keluar. Inilah indikasi (qarinah) bahwa perintah hadits tersebut adalah wajib. Dan jilbab yang dimaksudkan pada hadist ini bukan sekedar penutup aurat tetapi sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa jilbab: baju luar yang berfungsi menutupi tubuh langsung dari atas sampai bawah.
Pengertian ini dapat ditemukan juga dalam Tafsir Jalalain (lihat Tafsir Jalalain, jld. III, hal. 1803) yang diartikan sebagai kain yang dipakai seorang wanita untuk menutupi seluruh tubuhnya.
Jilbab selain harus luas dipersyaratkan harus diulurkan langsung ke bawah sampai menutupi dua telapak kaki. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu abbas dan juga dapat dipahami dari nash-nash yudnîna ‘alaihinna min jalabibihinna di sini bukan menunjuk sebagiantetapi untuk menjelaskan, sedangkan maknayudnîna adalah yurkhîna ila asfal (mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Jadi kesimpulannya jilbab harus diulurkan langsung ke bawah (tidak potong-potong/atas bawah) sampai menutup dua telapak kaki (bukan mata kaki). Hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar. Ibnu Umar berkata: Rasulullah bersabda:
Barangsiapa yang menyeret pakaiannya dengan sombong maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” Ummu Salamah bertanya: “Bagaimana yang harus diperbuat para wanita terhadap ujung baju (jilbab) mereka?” Rasulullah menjawab: “Hendaklah mereka mengulurkan sejengkal.” Ummu Salamah bertanya lagi: “Kalau demikian terlihat kaki mereka.” Rasulullah menjawab: “Hendaklah mengulurkan bajunya sehasta dan jangan lebih dari itu.
Dari sini jelas bahwa jilbab tidak boleh diulurkan bagian per bagian misalnya baju potongan, tetapi diulurkannya langsung dari atas ke bawah. Selain itu mengulurkannya harus sampai telapak kaki (bukan mata kaki), tidak boleh kurang dari itu, oleh karena itu apabila jilbabnya terulur sampai mata kaki dan sisanya (telapak kaki) ditutup dengan kaos kaki/sepatu, maka hal ini tidak cukup menggantikan keharusan irkha’ (terulurnya baju sampai ke bawah). Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah adanya irkha’, yaitu jilbab harus diulurkan sampai menutupi kedua telapak kaki sehingga dapat diketahui dengan jelas bahwa baju itu adalah baju di kehidupan umum. Apabila jilbabnya sudah terulur sampai ujung kaki tetapi jika berjalan kakinya masih terlihat sedikit seperti ketika menerima tamu, berjalan di sekitar rumah, maka hal ini tidak apa-apa walaupun tetap dianjurkan untuk ‘iffah (berhati-hati/menjaga diri). Hanya saja apabila aktivitas wanita tersebut membuat kakinya banyak terlihat semisal mengendarai sepeda, motor dan lain-lain maka diwajibkan untuk menggunakan penutup kaki apa saja seperti kaos kaki, sepatu dan lain-lain.
Memahami Pengertian Tabarruj
Tabarruj telah diharamkan oleh Allah SWT dengan larangan yang menyeluruh dalam segala kondisi dengan dalil yang jelas. Hal ini ditunjukkan dalam firman Allah SWT:
Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. an-Nûr (24): 60).
Pemahaman dari ayat ini adalah larangan bertabarruj secara mutlak. Allah membolehkan mereka (wanita yang berhenti haid dan tidak ingin menikah) menanggalkan pakaian luar mereka (jilbab), tanpa bertabarruj.
Sedangkan pengertian tabarruj adalah menonjolkan perhiasan, kecantikan termasuk bentuk tubuh dan sarana-sarana lain dalam berpenampilan agar menarik perhatian lawan jenis. Sarana lain yang biasa digunakan misalnya wangi-wangian, warna baju yang mencolok atau penampilan tertentu yang “nyentrik” atau perhiasan yang berbunyi jika dibawa jalan.
Orang tua (menopouse) boleh tetap mengenakan jilbab dan boleh juga mengenakan baju apa saja selain jilbab selama tidak menonjolkan perhiasan, kecantikan, bentuk tubuh ketika di kehidupan umum seperti di jalan-jalan,pasar, mall, dll. Jika wanita tua saja dilarang untuk bertabarruj, maka mafhum muwafaqahnya yaitu wanita yang belum berhenti haid lebih dilarang untuk bertabarruj.
Ayat lain yang melarang tabarruj adalah firman Allah SWT:
Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (Qs. an-Nûr [24]; 31).
Allah dalam ayat ini melarang salah satu bentuk tabarruj, yaitu menggerakkan kaki sampai terdengar bunyi gelang kakinya sehingga orang lain menjadi tahu perhiasan wanita yang menggerakkan kaki tersebut, yang berarti wanita tersebut telah menonjolkan perhiasannya. Dalil ini juga menjelaskan akan larangan tabarruj, yaitu menonjolkan perhiasan.
Tabarruj berbeda dengan perhiasan atau berhias. Tidak ada makna syara’ tertentu terhadap kata tabarruj, sehingga penafsiran kata tabarruj diambil dari makna lughawi (bahasa). Tabarruj secara bahasa berarti menonjolkan perhiasan, kecantikan termasuk keindahan tubuh pada laki-laki non muhrim. Dalil lain yang menerangkan bahwa tabarruj adalah menonjolkan perhiasan, keindahan tubuh pada laki-laki asing adalah seperti yang diriwayatkan dari Abi Musa Asy Sya’rawi:
Wanita yang memakai parfum, kemudian melewati suatu kaum (sekelompok orang) supaya/sampai mereka mencium aromanya maka berarti dia pezina.
Diriwayatkan pula dengan sabda Rasulullah Saw:
Dua golongan penghuni neraka, saya belum melihat sebelumnya adalah: wanita yang berpakaian seperti telanjang dan wanita yang berjalan lenggak-lenggok di atas kepala mereka seperti punuk unta, maka mereka tidak akan masuk surga dan tidak mendapatkan baunya.
Kata telanjang, berlenggak-lenggok dan seperti punuk unta menunjukkan arti agar tampak perhiasan dan kecantikannya. Atas dasar ini dapat dimengerti bahwa tabarruj tidak sama dengan sekedar perhiasan atau berhias, namun bermakna menonjolkan perhiasan.
Adapun mengenai perhiasan, maka hukum asalnya adalah mubah untuk dikenakan selama belum ada dalil yang mengharamkanya, hal ini sesuai dengan kaidah syara’, Hukum asal suatu benda (asy yâ’) adalah mubah.
Perhiasan adalah asy yâ’ (benda). Perhiasan apapun bentuknya adalah mubah selama belum ada dalil yang mengharamkannya. Sebagian perhiasan memang diharamkan Allah antara lain: seperti yang terungkap dari riwayat Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi melaknat wanita yang menyambung rambutnya dengan rambut orang lain, wanita yang rambutnya minta disambungkan, wanita yang mentato, dan wanita yang minta ditato.

Walaupun semula berhias dalam kondisi berkabung dibolehkan akan tetapi bisa menjadi haram manakala berhiasnya menggunakan perhiasan yang haram dan apabila berhiasnya sampai menjadikannya termasuk tabarruj yaitu menonjolkan perhiasan dan kecantikan di hadapan laki-laki asing (non mahrom).


BAB 3
Mempertahankan Kejujuran sebagai Cermin Kepribadian

A.Pengertian Jujur dan Macam-macam Sifat Jujur dalam Agama Islam




Pengertian Jujur – Jujur merupakan salah satu sifat manusia yang cukup sulit untuk diterapkan. Sifat jujur yang benar-benar jujur biasanya hanya bisa diterapkan oleh orang-orang yang sudah terlatih sejak kecil untuk menegakkan sifat jujur. Tanpa kebiasaan jujur sejak kecil, sifat jujur tidak akan dapat ditegakkan dengan sebenar-benarnya jujur.
Sifat jujur termasuk ke dalam salah satu sifat baik yang dimiliki oleh manusia. Orang yang memiliki sifat jujur merupakan orang berbudi mulia dan yang pasti merupakan orang yang beriman.
Meskipun jujur merupakan sifat dasar manusia, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak yang belum memahami makna kata jujur yang sebenarnya. Hal ini terbukti dari masih banyaknya orang-orang yang mencampur adukkan sifat jujur dengan sifat kebohongan yang pada akhirnya mendatangkan berbagai macam malapetaka baik bagi dirinya maupun bagi orang lain yang ada di sekitarnya.
Nah, untuk membantu kita memahami makna kata jujur yang sebenarnya, berikut merupakan rangkuman mengenai definisi kata jujur dapat kita gunakan sebagai sumber referensi :

Definisi dan Pengertian Jujur

Pengertian jujur dilihat dari segi bahasa adalah mengakui, berkata, atau pun memberi suatu informasi yang sesuai dengan apa yang benar-benar terjadi/kenyataan. Dari segi bahasa, jujur dapat disebut juga sebagai antonim atau pun lawan kata bohong yang artinya adalah berkata tau pun memberi informasi yang tidak sesuai dengan kebenaran.
Jika diartikan secara lengkap, maka jujur merupakan sikap seseorang ketika berhadapan dengan sesuatu atau pun fenomena tertentu dan menceritakan kejadian tersebut tanpa ada perubahan/modifikasi sedikit pun atau benar-benar sesuai dengan realita yang terjadi. Sikap jujur merupakan apa yang keluar dari dalam hati nurani setiap manusia dan bukan merupakan apa yang keluar dari hasil pemikiran yang melibatkan otak dan hawa nafsu.

Macam-macam Sifat Jujur dalam Agama Islam


Dalam Agama Islam, setidaknya dikenal lima jenis sifat jujur yang harus dimiliki oleh penganutnya, yaitu :
  1. Shidq Al – Qalbi
Shidq Al – Qalbi merupakan sifat jujur yang penerapannya ada pada niat seorang manusia.
  1. Shidq Al – Hadits
Shidq Al – Hadits merupakan sifat jujur yang penerapannya ada pada perkataan yang diucapkan oleh manusia.
  1. Shidq Al – Amal
Shidq Al – Amal merupakan sifat jujur yang penerapannya ada pada aktivitas dan perbuatan manusia.
  1. Shidq Al – Wa’d
Shidq Al – Wa’d merupakan sifat jujur yang penerapannya ada pada janji yang diucapkan oleh manusia.
  1. Shidq Al – Hall
Shidq Al – Hall merupakan sifat jujur yang penerapannya ada pada kenyataan yang terjadi dalam hidup manusia.
Demikianlah tulisan mengenai pengertian jujuryang dapat kami sampaikan kepada Anda. Semoga bermanfaat ya!

BAB 4
Al-Qur'an dan hadis adalah pedoman hidupku
Cermati gambar dan wacana berikut! Kisah berikut ini mungkin dapat menginspirasi dan memotivasi kita agar selalu mempertahankan kejujuran dalam segala kondisi. Suatu ketika, Wasilah ibn Iqsa, salah seorang sahabat Rasulullah saw. sedang berada di pasar ternak. Saat itu ia sedang menyaksikan seseorang akan membeli seekor unta dan sedang melakukan tawar-menawar. Akhirnya unta itu dibeli dengan harga 300 dirham, dan si pembeli menuntun unta yang telah dibelinya. Wasilah bergegas menghampiri si pembeli tersebut seraya bertanya, “Apakah unta yang engkau beli itu untuk disembelih atau sebagai tunggangan?” Si pembeli menjawab, “Unta ini untuk dikendarai.” Lalu Wasilah memberikan nasihat bahwa unta itu tidak akan tahan lama kalau ditunggangi karena di kakinya ada lubang karena cacat. Pembeli itu pun bergegas kembali menemui si penjual dan menggugatnya hingga akhirnya terjadi pengurangan harga 100 dirham. Mempertahankan Kejujuran sebagai Cermin Kepribadian Si penjual merasa jengkel kepada Wasilah seraya mengatakan, “Semoga engkau dikasihi Allah Swt., dan jual-beliku telah engkau rusak.” Mendengar ucapan tersebut, Wasilah berkata, “Kami sudah berbai’at kepada Rasulullah saw. untuk berlaku jujur kepada setiap muslim, sebagaimana Rasulullah saw. bersabda, ‘Tiada halal bagi siapa pun yang menjual barangnya kecuali dengan menjelaskan cacatnya, dan tiada halal bagi yang mengetahui itu kecuali menjelaskannya.’ (H.R. Hakim, Baihaki, dan Muslim dari Wasilah).” Itulah nilai-nilai dari kejujuran, walaupun berisiko, namun tetap harus dijunjung tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Kejujuran sangat mudah diucapkan oleh setiap orang, tetapi sedikit sekali yang dapat menerapkannya. Mempertahankan Kejujuran sebagai Cermin Kepribadian Berbagai cara dilakukan orang untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan hidupnya. Ada yang melakukan cara-cara yang memang seharusnya ditempuh dengan memotivasi diri dengan bekerja keras dan menaati aturan yang ada. Akan tetapi, tidak sedikit orang yang menempuh cara-cara yang bertentangan dengan hukum dan aturan yang berlaku, baik itu hukum agama maupun peraturan yang berlaku yang dibuat oleh pemerintah. Mereka jauh dari nilai-nilai kejujuran. Bagi mereka, cara apa pun boleh dilakukan, yang penting tujuannya tercapai. Berani jujur itu hebat! adalah sebuah slogan yang saat ini marak disuarakan oleh para aktivis penggiat antikorupsi untuk mendukung kerja Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dalam menjalankan tugasnya “menangkap” para koruptor. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa, semenjak dibentuknya KPK, sudah banyak penjahat “kerah putih” yang menggerogoti uang rakyat tertangkap oleh KPK. Mereka sudah memperoleh jabatan yang tinggi dengan segenap fasilitas yang diberikan oleh negara, tetapi masih saja melakukan praktik-praktik kotor dengan cara memanipulasi, menggelembungkan harga belanja barang, laporan keuangan fiktif dan sebagainya. Namun demikian, memang tidak semua pejabat berperilaku seperti itu. Banyak juga di antara pejabat di negeri ini yang masih memiliki hati nurani dengan berperilaku jujur dan amanah. Mereka hidup bersahaja dengan penghasilan yang cukup dan sah diberikan oleh negara. Korupsi dimulai dari perilaku yang tidak jujur yang mungkin sudah sering dilakukan sejak kecil, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Analisislah apa saja perbuatan yang sering dilakukan sebagai perbuatan tidak jujur, baik di lingkungan keluarga, kerja, sekolah, maupun masyarakat! Apa saja upaya yang harus dilakukan untuk menghindari hal tersebut? Mulai saat ini marilah kita coba untuk mempertahankan kejujuran sebagai cermin kepribadian kita.

Sumber: http://kisahimuslim.blogspot.co.id/2014/09/mempertahankan-kejujuran-sebagai-cermin.html
Cermati gambar dan wacana berikut! Kisah berikut ini mungkin dapat menginspirasi dan memotivasi kita agar selalu mempertahankan kejujuran dalam segala kondisi. Suatu ketika, Wasilah ibn Iqsa, salah seorang sahabat Rasulullah saw. sedang berada di pasar ternak. Saat itu ia sedang menyaksikan seseorang akan membeli seekor unta dan sedang melakukan tawar-menawar. Akhirnya unta itu dibeli dengan harga 300 dirham, dan si pembeli menuntun unta yang telah dibelinya. Wasilah bergegas menghampiri si pembeli tersebut seraya bertanya, “Apakah unta yang engkau beli itu untuk disembelih atau sebagai tunggangan?” Si pembeli menjawab, “Unta ini untuk dikendarai.” Lalu Wasilah memberikan nasihat bahwa unta itu tidak akan tahan lama kalau ditunggangi karena di kakinya ada lubang karena cacat. Pembeli itu pun bergegas kembali menemui si penjual dan menggugatnya hingga akhirnya terjadi pengurangan harga 100 dirham. Mempertahankan Kejujuran sebagai Cermin Kepribadian Si penjual merasa jengkel kepada Wasilah seraya mengatakan, “Semoga engkau dikasihi Allah Swt., dan jual-beliku telah engkau rusak.” Mendengar ucapan tersebut, Wasilah berkata, “Kami sudah berbai’at kepada Rasulullah saw. untuk berlaku jujur kepada setiap muslim, sebagaimana Rasulullah saw. bersabda, ‘Tiada halal bagi siapa pun yang menjual barangnya kecuali dengan menjelaskan cacatnya, dan tiada halal bagi yang mengetahui itu kecuali menjelaskannya.’ (H.R. Hakim, Baihaki, dan Muslim dari Wasilah).” Itulah nilai-nilai dari kejujuran, walaupun berisiko, namun tetap harus dijunjung tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Kejujuran sangat mudah diucapkan oleh setiap orang, tetapi sedikit sekali yang dapat menerapkannya. Mempertahankan Kejujuran sebagai Cermin Kepribadian Berbagai cara dilakukan orang untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan hidupnya. Ada yang melakukan cara-cara yang memang seharusnya ditempuh dengan memotivasi diri dengan bekerja keras dan menaati aturan yang ada. Akan tetapi, tidak sedikit orang yang menempuh cara-cara yang bertentangan dengan hukum dan aturan yang berlaku, baik itu hukum agama maupun peraturan yang berlaku yang dibuat oleh pemerintah. Mereka jauh dari nilai-nilai kejujuran. Bagi mereka, cara apa pun boleh dilakukan, yang penting tujuannya tercapai. Berani jujur itu hebat! adalah sebuah slogan yang saat ini marak disuarakan oleh para aktivis penggiat antikorupsi untuk mendukung kerja Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dalam menjalankan tugasnya “menangkap” para koruptor. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa, semenjak dibentuknya KPK, sudah banyak penjahat “kerah putih” yang menggerogoti uang rakyat tertangkap oleh KPK. Mereka sudah memperoleh jabatan yang tinggi dengan segenap fasilitas yang diberikan oleh negara, tetapi masih saja melakukan praktik-praktik kotor dengan cara memanipulasi, menggelembungkan harga belanja barang, laporan keuangan fiktif dan sebagainya. Namun demikian, memang tidak semua pejabat berperilaku seperti itu. Banyak juga di antara pejabat di negeri ini yang masih memiliki hati nurani dengan berperilaku jujur dan amanah. Mereka hidup bersahaja dengan penghasilan yang cukup dan sah diberikan oleh negara. Korupsi dimulai dari perilaku yang tidak jujur yang mungkin sudah sering dilakukan sejak kecil, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Analisislah apa saja perbuatan yang sering dilakukan sebagai perbuatan tidak jujur, baik di lingkungan keluarga, kerja, sekolah, maupun masyarakat! Apa saja upaya yang harus dilakukan untuk menghindari hal tersebut? Mulai saat ini marilah kita coba untuk mempertahankan kejujuran sebagai cermin kepribadian kita.

Sumber: http://kisahimuslim.blogspot.co.id/2014/09/mempertahankan-kejujuran-sebagai-cermin.html
Pengertian AL- Quran Dan Hadist

Menurut bahasa Al – Quran berasal dari kata “ qara’a – qur’aanan – yaqra’u ” yang memiliki arti bacaan atau sesuatu yang dibaca berulang kali. Menurut istilah, Al – Quran adalah firman Allah yang diturunkan pada Rasulullah melalui Malaikat Jibril yang membacanya pun merupakan ibadah.


Hadist menurut bahasa memiliki tiga makna yakni :
  • Sesuatu yang baru jadi atau jaded
  • Dekat atau Qorib, sesuatu yang tidak lama lagi akan terjadi atau segera terjadi
  • Berita atau Khabar, sesuatu yang dibicarakan atau disampaikan seseorang kepada orang lain

Menurut istilah para ahli agama hadistmerupakan sinonim atau persamaan sari sunnah yaitu sesuatu yang diriwayatkan oleh Nabi Muhammad SAW sebelum atau sesudah beliau diutus menjadi Nabi. Namun sunnah lebih umum dari pada hadist. Hadist merupakan sabda atau perkataan, ketetapan, persetujuan serta perbuatan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan hukum dalam agama islam. Hadist dijadikan sebagai sumber hukum atau pedoman kedua setelah Al–Quran.

Kedudukan Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam
Kedudukan Al Quran dalam islam ialah sebagai sumber hukum utama bagi umat islam dari segala sumber hukum yang ada dan dibuat dibumi. Seperti yang disebutkan dalam firman Allah dalam surah An – Nisa ayat 59 :

Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’ : 59)
Dari ayat tersebut dapat dengan jelas kita ketahui bahwa kedudukan Al – Quran ialah sebagai sumber hukum islam yang paling utama dan dapat digunakan sebagai pedoman hidup dan petunjuk oleh umat manusia. Tidak akan ada keraguan sedikitpun di dalamnya. Bila seseorang berpegang teguh pada Al – Quran tanpa meragukannya sedikitpun, maka ia tidak akan pernah tersesat selama – lamanya.

Kedudukan Hadits sebagai Sumber Hukum Islam
Terdapat beberapa hukum yang tidak disebutkan dengan jelas dalam Al – Quran. Rasulullah SAW kemudian akan menjelaskannya baik dengan menggunakan perbuatan, perkataan, maupun dengan penetapan. Dalil akan menjadi sunah hukumnya karena apa yang dilakukan oleh Rasulullah merupakan tindak lain dari penjabaran dari prinsip – prinsip yang sudah ada di dalam Al – Quran. Selain sebagai sumber hukum Isla hadits juga memiliki kedudukan lainnya seperti sebagai pengukuh dan penguat hukum islam, penjelas atau oerinci terhadap ayat – ayat yang ada dalam Al – Quran yang masih bersifat umum.

Menjadikan Al-Qur’an dan Hadits Sebagai Pedoman Hidup
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya baik itu Al – Quran maupun Hadits memang sudah seharusnya kita jadikan sebagai pedoman hidup. Mengingat isi dari Al – Quran dan Hadits yang sudah mengatur semua hal dalam keberlangsungan hidup manusia baik itu pada saat sedang berada di bumi atau pada saat di akhirat. Semua hal yang ada di alam semesta telah diatur dan dijelaskan oleh Allah SWT di dalam Al – Quran dan sudah diperjelas kembali oleh Rasulullah dalam hadits baik itu berupa perkataan, perbuatan, perjanjian dan lain sebagainya. Sejatinya Al – Quran dan Hadits diciptakan atau diturunkan untuk dijadikan sebagai petunjuk, penjelasan akan petunjuk, benar dan salah, baik serta buruk hingga terpuji dan tercela.

Kedudukan Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Islam
Ijtihad merupakan sumber hukum Islam ketiga setelah Al-Quran dan Hadits. Berbeda dengan Al – Quran dan Hadits, ijtihad memiliki ikatan dengan ketentuan – ketentuan seperti berikut :

  • Pada dasarnya apapun yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat dijadikan sebagai keputusan yang mutlak atau absolute , karena ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relative.
  • Keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad hanya dapat berlaku pada orang – orang tertentu saja. Ijtihad juga tidak berlaku dalam penambahan ibadah mahdhah karena urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulnya dalam Al – Quran dan Hadits.
  • Keputusan Ijtihad tidak diijinkan bertentangan dengan Al – Quran dan juga Hadits
  • Pada saat proses Ijtihad diharuskan mempertimbangkan berbagai faktor akibat, kemaslahan umum, motivasi hingga nilai – nilai yang menjadi ciri dan jiwa pada ajaran.

 BAB 5
 Meneladan Perjuangan Rasullulah saw. di Mekah

A. Dakwah Nabi Muhammad untuk Menyempurnakan Akhlak Manusia
Setelah Nabi Miuhammad SAW menerima wahyu, maka secara resmi beliau telah diangkat menjadi Rasul oleh Allah SWT. Beliau mempunyai kewajiban untuk membina umat yang telah berada dalam kesesatan untuk menuju jalan yang lurus. Dakwah Nabi Muhammad SAW dimulai dari wilayah Makkah di jazirah Arab, walaupun pada akhirnya ajaran beliau adalah untuk seluruh umat manusia. Jauh sebelum kerasulan Nabi Muhammad SAW, sebenarnya Allah SWT juga telah mengutus nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s. Kedua Rasul ini telahberhasil membina bangsa Arab dan masyarakat makkah menjadi orang yang beriman dan henya menyembah kepada Allah SWT. Bahkan kedua Rasul tersebut juga diperintah Allah SWT untuk membangun Ka’bah di Makkah. Namun dengan berjalanya waktu, keimanan masyarakat Makkah menjadi luntur dan berubah menjadi kemusyrikan dengan menyembah patung dan berhala. Mereka tidak hanya mengalami kerusakan dalam hal aqidah, bahkan akhlaknya juga rusak.
Nabi Muhammad SAW sebagai rasul tidak henti-hentinya berusaha memperbaiki akhlak masyarakat yang sudah rusak tersebut. Untuk memperbaiki akhlak, maka Allah SWT telah mengutus rasul yang memang semenjak kecil dikenal oleh masyarakat sebagai orang yang sangat mulia akhlaknya. Sejak masih kecil, remaja, sampai dewasa Nabi Muhammad sudah dikenal oleh masayarakat Makkah sebagai orang yang mempunyai kepribadian baik, berbeda dengan kebanyakan orang saat itu. Penampilannya pun sederhana, bersahaja, dan berwibawa. Ketika ia berjalan badannya agak condong kedepan, melangkah sigap dan pasti. Raut mukanya menunjukkan pikirannya yang cerdas, tajam, dan jernih. Pandangan matanya menunjukkan keteduhan dan kewibawaan, membuatorang patuh kepadanya. Ia juga dikenal sebagai orang yang jujur dalam setiap perkataan maupun perbuatan. Dengan sifatnya yang demikian itu tidak heran bila Khadijah, majikannya menaruh simpati kepadanya, dan tidak pula mengherankan bila Muhammad diberi keleluasaan mengurus hartanya. Khadijah juga membiarkannya menggunakan waktu untuk berpikir dan menuangkan hasil pemikirannya. Akhirnya Muhammad dan Khadijah menikah menjadi sepasang suami istri yang sangat setia dan memiliki anak-anak yang shalih.
Muhammad mendapat kurnia Tuhan dalam perkawinannya dengan Khadijah, mereka berada dalam kedudukan yang tinggi dan harta yang cukup. Seluruh penduduk Makkah memandangnya dengan rasa segan dan hormat. Mereka mensyukuri karunia Tuhan yang diberikan kepadanya serta anak dan keturunan yang baik. Semua itu tidak mengurangi pergaulannya dengan penduduk Makkah baik yang kaya maupun yang miskin. Dalam kehidupan hari-hari, Muhammad bergaul baik dengan masyarakat sekitar. Bahkan setelah menikah dengan Khadijah ia lebih dihormati di tengah-tengah masyarakat. Dengan dihormati orang Muhammad tidak menjadi tinggi hati, namun ia menjadi semakin rendah hati. Bila ada yang mengajaknya bicara ia mendengarkan dan memperhatikannya tanpa menoleh kepada orang lain. Perilakunya yang demikian sangat berbeda dengan kebanyakan orang Makkah yang menjadi sombong dan congkak ketika dihormati, dan marah-marah ketika merasa tidak dihormati. Muhammad juga bukan termasuk orang yang suka mengobral perkataan, ia berkata seperlunya, dan ia lebih banyak mendengarkan. Bila bicara selalu bersungguh-sungguh, tapi sungguhpun begitu ia sesekali membuat humor dan bersenda-gurau. Sifatnya yang jujur tersebut juga sangat berbeda dengan kebanyakan orang Makkah yang suka berbohong, membual, dan sulit dipercaya. Setiap bertemu orang Muhammad selalu tersenyum. Pada saat-saat tertentu juga bercanda dan terkadang tertawa sampai terlihat gerahamnya. Bila ia marah tidak pernah sampai tampak kemarahannya, hanya antara kedua keningnya tampak sedikit berkeringat, hal ini disebabkan ia menahan rasa amarah dan tidak mau menampakkannya keluar. Semua itu terbawa oleh kodratnya yang selalu lapang dada, berkemauan baik dan menghargai orang lain. Ia Bijaksana, murah hati dan mudah bergaul. Tapi ia juga mempunyai tujuan pasti, berkemauan kuat, tegas dan tak pernah ragu-ragu dalam tujuannya. Sifat-sifat demikian ini berpadu dalam dirinya dan meninggalkan pengaruh yang dalam sekali pada orang-orang yang bergaul dengan dia. Bagi orang yang melihatnya tiba-tiba, sekaligus akan timbul rasa hormat, dan bagi orang yang terbiasa bergaul dengannya akan timbul rasa cinta kepadanya.
Muhammad menjalin hubungan baik kepada penduduk Makkah. Ia juga berpartisipasi dalam kegiatan sosial dalam kehidupan masyarakat hari-hari. Pada waktu itu masyarakat sedang sibuk karena bencana banjir besar yang turun dari gunung kemudian menimpa dan meretakkan dinding-dinding Ka’bah yang memang sudah rapuh. Sebelum itupun masyarakat suku Quraisy memang sudah memikirkannya. Ka’bah yang tidak beratap itu menjadi sasaran pencuri mengambil barang-barang berharga di dalamnya. Hanya saja masyarakat suku Quraisy merasa takut kalau bangunannya diperkuat, pintunya ditinggikan dan diberi atap, dewa Ka’bah yang suci itu akan menurunkan bencana kepada mereka. Sepanjang zaman Jahiliyyah keadaan mereka diliputi oleh berbagai macam legenda yang mengancam bagi siapapun yang berani mengadakan sesuatu perubahan terhadap Ka’bah. Dengan demikian perbuatan itu dianggap tidak umum.
Tetapi sesudah mengalami bencana banjir tindakan demikian itu adalah suatu keharusan, walaupun masih diliputi rasa takut dan ragu-ragu. Bertepatan dengan kejadian itu, kapal milik seorang pedagang Romawi bernama Baqum yang datang dari Mesir terhempas di laut dan pecah. Sebenarnya Baqum adalah seorang ahli bangunan yang mengetahui masalah perdagangan. Sesudah suku Quraisy mengetahui hal ini, maka berangkatlah al-Walid bin al-Mughira dengan beberapa orang dari Quraisy ke Jeddah menemui Baqum. Kapal itu kemudian dibelinya, kemudian diajaknya berunding supaya sama-sama datang ke Makkah guna membantu mereka membangun Ka’bah kembali. Baqum menyetujui permintaan itu. Pada waktu itu di Makkah ada seorang Kopti yang mempunyai keahlian sebagai tukang kayu. Persetujuan tercapai bahwa diapun akan bekerja dengan mendapat bantuan Baqum.
Sudut-sudut Ka’bah oleh suku Quraisy dibagi empat bagian tiap kabilah mendapat satu sudut yang harus dirombak dan dibangun kembali. Sebelum bertindak melakukan perombakan itu mereka masih ragu-ragu dan khawatir akan mendapat bencana. Kemudian al-Walid bin al-Mughira tampil ke depan dengan merasa sedikit takut. Setelah berdoa kepada dewa-dewanya, ia mulai merombak bagian sudut selatan. Orang-orang menunggu apa yang akan dilakukan Tuhan terhadap al-Walid. Tetapi setelah sampai pagi hari tak terjadi apa-apa, mereka pun beramai-ramai merombaknya dan memindahkan batu-batu yang ada. Muhammad pun ikut dalam kerja bakti itu.
Sesudah bangunan itu setinggi orang berdiri dan tiba saatnya meletakkan Hajar Aswad yang disucikan di tempatnya semula di sudut timur, maka timbullah perselisihan di kalangan Quraisy, siapa yang seharusnya mendapat kehormatan meletakkan batu itu pada tempatnya semula. Demikian memuncaknya perselisihan itu sehingga hampir saja timbul perang saudara. Keluarga Abdud Dar dan keluarga ‘Adi bersepakat takkan membiarkan kabilah yang manapun campur tangan dalam kehormatan yang besar ini. Untuk itu mereka mengangkat sumpah bersama. Keluarga Abdud Dar membawa sebuah baki berisi darah. Tangan mereka dimasukkan ke dalam baki itu guna memperkuat sumpah mereka. Karena itu lalu diberi nama La’aqatud Dam, yakni ‘jilatan darah.’ Abu Umayyah bin al-Mughira dari Bani Makhzum, adalah orang yang tertua di antara mereka. Ia dihormati dan dipatuhi. Setelah melihat keadaan serupa itu ia berkata kepada mereka: 
"Serahkanlah putusan kamu ini di tangan orang yang pertama sekali memasuki pintu Shafa ini." 
Tatkala mereka melihat Muhammad adalah orang pertama memasuki tempat itu, mereka berseru: "Ini al-Amin (orang yang terpercaya) ; kami dapat menerima keputusannya." Lalu mereka menceritakan peristiwa itu kepada Muhammad. Iapun mendengarkan dan sudah melihat di mata mereka betapa berkobarnya api permusuhan itu. Ia berpikir sebentar, lalu katanya: "Kemarikan sehelai kain," katanya. Setelah kain dibawakan dihamparkannya dan diambilnya batu itu lalu diletakkannya dengan tangannya sendiri, kemudian katanya; "Hendaknya setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini." Mereka bersama-sama membawa kain tersebut ke tempat batu itu akan diletakkan. Lalu Muhammad mengeluarkan batu itu dari kain dan meletakkannya di tempatnya. Dengan demikian perselisihan itu berakhir dan bencana dapat dihindarkan. Quraisy menyelesaikan bangunan Ka’bah sampai setinggi delapanbelas hasta (± 11 meter), dan ditinggikan dari tanah sedemikian rupa, sehingga mereka dapat menyuruh atau melarang orang masuk. Di dalam Ka’bah itu mereka membuat enam batang tiang dalam dua deretan dan di sudut barat sebelah dalam dipasang sebuah tangga naik sampai ke teras di atas lalu meletakkan Hubal di dalam Ka’bah. Juga di tempat itu diletakkan barang-barang berharga lainnya, yang sebelum dibangun dan diberi beratap menjadi sasaran pencurian.
Kejadian ini berlangsung saat Muhammad berusia 35 tahun, dan keputusannya mengambil batu dan diletakkan di atas kain lalu mengambilnya dari kain dan diletakkan di tempatnya dalam Ka’bah, menunjukkan betapa tingginya kedudukannya dimata penduduk Makkah, betapa besarnya penghargaan mereka kepadanya sebagai orang yang berjiwa besar. Pada tahun 611 M, waktu itu Muhammad berusia 40 tahun beliau menerima wahyu yang pertama. Di puncak Gunung Hira, – sejauh dua farsakh sebelah utara Makkah – terletak sebuah gua yang sangat kondusif untuk tempat menyendiri (berkhalwat). Sepanjang bulan Ramadan tiap tahun Muhammad pergi ke sana dan berdiam di tempat itu. Ia tekun dalam merenung dan beribadah, menjauhkan diri dari segala kesibukan hidup dan keributan manusia. Ia mencari Kebenaran tentang keberadaan Tuhan dan merenungkan keboborokan perilaku sehari-hari masyarakat Arab saat itu. Demikian kuatnya ia merenung mencari hakikat kebenaran itu, sehingga lupa ia akan dirinya, lupa makan, lupa segala yang ada dalam hidup ini. Sebab, segala yang dilihatnya dalam kehidupan manusia sekitarnya, bukanlah suatu kebenaran.
Ia merenung untuk mencari jawaban mengenai perilaku masyarakat dalam masalah-masalah hidup. Apa yang disajikan sebagai kurban-kurban untuk tuhan-tuhan mereka itu, bukanlah sesuatu yang dapat dibenarkan menurut rasio dan nurani yang jernih. Berhala-berhala yang tidak berguna, tidak menciptakan dan tidak pula mendatangkan rejeki, tak dapat memberi perlindungan kepada siapapun yang ditimpa bahaya tidak selayaknya dipuja dan disembah. Hubal, Lata dan ‘Uzza, dan semua patung-patung dan berhala-berhala yang terpancang di dalam dan di sekitar Ka’bah, tak pernah menciptakan seekor lalat sekalipun, atau akan mendatangkan suatu kebaikan bagi Makkah. Ketika itulah ia percaya bahwa masyarakatnya telah tersesat, jauh dari kebenaran.Keyakinan mereka terhadap keberadaan Tuhan telah rusak karena tunduk kepada khayal berhala-berhala serta kepercayaan-kepercayaan semacamnya. Kebenaran itu ialah Allah, Khalik seluruh alam, tak ada tuhan selain Dia. Kebenaran itu ialah Allah Pemelihara semesta alam. Dialah Maha Rahman dan Maha Rahim.
Kebenaran itu ialah bahwa manusia dinilai berdasarkan perbuatannya. "Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat atompun akan dilihatNya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat atompun akan dilihatNya pula." (Qur’an, 99:7-8) Dan bahwa surga itu benar adanya dan neraka juga benar adanya. Mereka yang menyembah tuhan selain Allah mereka itulah menghuni neraka, tempat tinggal dan kediaman yang paling durhaka. Tatkala ia sedang bertahanuth, ketika itulah datang malaikat membawa sehelai lembaran seraya berkata kepadanya: "Bacalah!" Dengan terkejut Muhammad menjawab: "Saya tak dapat membaca". Ia merasa seolah malaikat itu mencekiknya, kemudian dilepaskan lagi seraya katanya lagi: "Bacalah!" Masih dalam ketakutan akan dicekik lagi Muhammad menjawab: "Apa yang akan saya baca." 
Seterusnya malaikat itu berkata: "Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya …" Lalu ia mengucapkan bacaan itu. Malaikatpun pergi, setelah kata-kata itu terpateri dalam kalbunya.
Setelah menerima wahyu yang pertama itu maka Muhammad menjadi seorang utusan (rasul), sehingga dia mempunyai kewajiban untuk menyampaikan ajaran Allah SWT kepada umat manusia. Setelah menjadi rasul, maka sifat-sifat mulia yang dimilikinya tdak hanya dimilikinya sendiri, namun dia harus mengajarkan dan memberi teladan kepada umat manusia untuk berakhlak yang mulia. Nabi Muhammad bersabda : 
Artinya : “Diriwayatkan dari Abi Hurairah, Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak)” (HR Ahmad). 
Artinya : “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. 
Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya”. (QS Fathir : 10) 
Nabi Muhammad mengajarkan bahwa kemuliaan manusia tidak diukur dari harta, keturunan, suku, keindahan tubuh, kekuatan, maupun pangkat dan jabatannya dalam masyarakat.
Namun kemuliaan manusia terletak pada ketaatannya kepada Allah SWT dan kemuliaan akhlaknya, baik berupa sikap, perkataan, maupun perbuatannya dalam kehidupan sehari-hari. Padahal ketika itu masayarakat Arab sangat menonjolkan keturunan dan sukunya. Mereka sering berselisih, bertengkar bahkan berperang agar sukunya menjadi yang paling terhormat diantara yang lain. Mereka juga sangat membanggakan harta dan kedudukan. Semakin banyak harta dan memiliki banyak budak, maka mereka merasa menjadi mulia. Setelah menjadi rasul, Nabi Muhammad SAW memberikan ajaran yang sangat mulia bahwa sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat dan dapat bermanfaat bagi orang lain. Padahal perilaku masyarakat Quraisy saat itu seringkali menyengsarakan orang lain,, mereka semena-mena terhadap orang-orang miskin apalagi terhadap budak-budak mereka. Betapa beratnya tugas Nabi Muhammad SAW untuk membina manusia agar berakhlak mulia ketika kondisi akhlaknya sudah buruk. Namun semua itu dilakukan beliau dengan penuh kesabaran dan dengan cara memberi teladan.
B. Nabi Muhammad Sebagai Rahmat bagi Alam Semesta
Bagi orang-orang yang merasakan bahwa kehidupan para pembesar dan bangsawan Makkah yang sudah sesat dan keterlaluan, namun mereka tidak mampu berbuat apa-apa, maka kehadiran Nabi Muhammad saw. seperti seteguk air saat mereka merasakan dahaga yang sudah sangat lama. Nabi Muhammad saw. mengajarkan tentang persamaan derajat manusia. Nabi Muhammad saw. juga mengajarkan agar penyelesaian masalah tidak boleh dilakukan dnegan cara kekerasan, namun harus dilakukan dengan cara-cara yang damai dan beradab. Hal ini tercermin dalam tindakan Nabi Muhammad ketika mendamaikan masyarakat Makkah saat akan meletakkan Hajar  Aswad pada tempatnya.
Nabi Muhammad mengajarkan agar manusia bekerja keras untuk dapat memenuhi kebutuhannya, namun ketika menjadi kaya maka dia harus mengasihi yang miskin dengan cara menyisihkan sebagian hartanya untuk mereka. Orang yang kuat harus mengasihi yang lemah. Orang tua harus menyayangi anaknya baik anak itu laki-laki maupun perempuan, sebaliknya anak harus menghormati dan berbakti kepada orang tuanya walaupun mereka sudah sangat tua. Ketika antar anggota masyarakat dapat memahami hak dan kewajibannya, saling menghormati, menghargai, dan mengasihi, maka akan menjadi masyarakat yang damai, aman, tenteram dan sejahtera. Terbukti, saat ini keadaan Masyarakat Makkah dan Madinah menjadi masyarakat yang sangat beradab, damai, sejahtera dan mengalami kemajuan yang pesat. Semua itu diawali dengan ketakwaan mereka kepada Allah dan senantiasa berpegang teguh kepada ajaran Nabi Muhammad saw. Dengan demikian sesungguhnya Nabi Muhammad ditus oleh Allah SWT sebagai rahmat bagi seluruh alam. Nabi tidak hanya diutus untuk penduduk Makkah saja, atau bagi bangsa  Arab saja, namun nilai-nilai yang dibawanya adalah nilai-nilai universal yang dapat meningkatkan martabat umat manusia sehingga berbeda dengan binatang. 
Artinya : “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QَS Al Anbiya : 107}
C. Meneladani Dakwah Nabi Muhammad SAW dan Para Sahabat di Makkah
Pada mulanya, dakwah Nabi Muhammad di Makkah dimulai dari sanak keluarga dan kerabat dekat. Itupun dilakukan secara sembunyi-sembunyi, di rumah salah seorang sahabat yang bernama Al Arqom bin Abil Arqom Al Makhzumi. Upaya tersebut membuahkan hasil yang cukup menggembirakan. Kurang lebih tiga tahun ada 39 orang yang menyatakan iman dan Islam, semuanya dari kerabat dekat dan sahabat-sahabat yang lain. Di antara kerabat dekat yang masuk Islam waktu itu antara lain Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar, Zaid bin Haritsah. Khadijah, istri nabi, orang yang cukup terpandang dan kaya raya. Abu Bakar, seorang dermawan yang kaya raya. Ali bin Abi Tholib, seorang pemuda yang cukup cerdas dan dihormati. Dengan masuk Islamnya orang-orang tersebut membawa pengaruh besar pada dakwah nabi sampai masa berikutnya. Karena orang-orang tersebut cukup dihormati di kalangan orang-orang Quraisy.
Di antara sahabat yang menyusul masuk Islam antara lain Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqash, Abdurrahman bin Auf, Fatimah binti Khatab serta suaminya (Said bin Zaid), Arqam bin Abil Arqam, Thalhah bin Ubaidillah. Mereka termasuk “Assabiqunal Awwalun”, yakni orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Dakwah secara terang-terangan yang dilakukan Nabi Muhammad saw. mendapat reaksi cukup keras dari para pemuka dan tokoh Quraisy, antara lain Abu Lahab (Abdul Uzza), Abu Jahal, Umar ibnu Khatab (sebelum masuk Islam), Uqbah bin Abi Muatih, Aswad bin Abdi Jaghuts, Hakam bin Abil Ash, Abu Sufyan bin Harb (sebelum masuk Islam), Ummu Jamil (istri Abu Lahab). Reaksi keras yang dilakukan oleh para tokoh Quraisy tersebut antara lain berupa ejekan, hinaan, hasutan, ancaman, dan penganiayaan secara fisik. Hal yang sama juga dilakukan kepada orang-orang Quraisy sendiri, agar tidak mengikuti seruan Nabi Muhammad. Namun, Rasulullah tetap tabah dan sabar, dakwah pun tetap dijalankan. Bahkan semakin terang-terangan dan meluas ke wilayah lain.
Menghadapi sikap Rasulullah tersebut orang-orang Quraisy bertambah marah, bahkan pernah merencanakan akan melakukan pembunuhan terhadap Nabi Muhammad. Rencana tersebut dilakukan menjelang Nabi Muhammad akan hijrah ke Madinah. Atas pertolongan Allah SWT, waktu itu Nabi selamat dari rencana pembunuhan tersebut. Kemudian bisa hijrah ke Madinah. Meskipun Nabi Muhammad saw. dengan susah payah dalam berdakwah karena mendapat tantangan dari Kaum Quraisy, tetapi makin hari makin didengar orang sehingga makin banyak pengikutnya. Dakwah Nabi Muhammad di Makah dilakukan kurang lebih selama 13 tahun, dan selebihnya selama 10 tahun Nabi Muhammad berada di Madinah. Ketika berdakwah di Makkah, tantangan yang dihadapi oleh Rasulullah dan para sahabat begitu besar. Dari uraian sejarah di atas dapat diambil pelajaran yang sangat berharga dari cara cara dakwah Rasulullah yang harus diteladani oleh umat islam, antara lain adalah : 
1. Nabi Muhammad berdakwah dengan keeladanan. Sebelum beliau menyampaikan sesuatu, maka beliau terlebih dahulu melaksanakanya. Jadi, disamping dakwah dengan lisan, dakwah juga dilakukan dengan perbuatan, sikap, dan keteladanan dalam kehidupan sehari-hari. 
2. Disampaikan dengan penuh kehati-hatian, sabar, dan menggunakan bahasa yang halus dan lemah lembut serta dengan bahasa yang mudah dipahami. 
3. Rasulullah saw. memposisikan para pengikutnya sebagai sahabat, hal ini tercermin dalam sebutan para pengikutnya yakni dengan sebutan ‘sahabat’. Cara seperti ini menimbulkan rasa simpati yang luar biasa, karena di dalam Islam nyata-nyata diterapkan kesetaraan. 
4. Rasulullah saw. selalu bersama para sahabat-sahabatnya baik dalam keadaan suka maupun duka, dengan demikian terjalin persatuan, kesatuan, dan solidaritas umat Islam yang sangat kuat. Dalam berdakwah Rasulullah saw. tidak pernah memaksakan kehendak, Rasulullah saw hanya menyampaikan ajaran dari Allah SWT, dan memberikan pemahaman secara rasional dan dengan hati yang jernih. Mengikuti atau tidak hal itu menjadi hak pribadi masing-masing. Dengan kata lain, dalam berdakwah Rasulullah saw tidak pernah menggunakan cara-cara kekerasan.
           
 Sekian